Pada penghujung pekan ini, Jawa timur menduduki posisi teratas sebagai provinsi dengan pasien terpapar Covid-19 terbanyak. Melihat data Dinas Kesehatan Jatim, saat ini total pasien positif Covid-19 sudah mencapai 21.125 orang. Angka tersebut kini sudah menyentuh ambang batas maksimum daya muat rumah sakit. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Surabaya, Arief Bakhtiar yang mengatakan bahwa sejumlah rumah sakit di Surabaya bahkan kini mengaku tidak sanggup lagi menampung lonjakan pasien Covid-19.
Berbagai upaya pun dilakukan Pemerintah Provinsi (pemprov) Jatim termasuk oleh Gubernur Jatim, Walikota Surabaya, kalangan tenaga medis dan aparat, serta berbagai pihak terkait agar laju penularan Covid-19 menurun. Namun nyatanya pemprov Jatim dinilai lambat dalam menangani kasus Covid-19. Hal ini jelas terlihat dari respon masyarakatnya yang masih menganggap pandemi ini sebagai suatu hal yang biasa saja sehingga terus terjadi kenaikan kasus positif Covid-19.
Dimuat liputan6.com (17/7) Walikota Surabaya Risma sempat menuturkan bahwa meningkatnya kasus Covid-19 di Jatim diakibatkan banyaknya masyarakat yang belum menerapkan disiplin protokol kesehatan. Risma bahkan sempat turun langsung memasuki perkampungan padat penduduk di Surabaya dan nyatanya masih banyak warung yang tetap buka dan pedagang yang tidak mengenakan masker. Sangat miris melihat kondisi tersebut bahkan di saat himbauan sudah seringkali digaungkan. Dalam fenomena semacam ini, setidaknya penjual dan pembeli sangat beresiko tertular dan menulari karena adanya interaksi secara langsung.
Seperti biasa,melihat respon Risma yang acap kali emosional, ini menunjukkan bahwa penegakan aturan dan sanksi, khususnya di Surabaya memang belum dilakukan secara serius. Pertanyaannya, lantas kemanakah peran pihak berwajib? Terlihat jelas lemahnya peran aparat terhadap masyarakat yang tidak patuh protokol kesehatan.
Selain aparat, kesadaran masyarakat yang masih rendah juga ikut andil dalam meningkatkan laju penularan Covid-19. Hal ini dibuktikan dari hasil rekaman google mobility di tiga daerah pusat penularan Covid-19 Jatim seperti Surabaya, Gresik dan Sidoarjo yang menunjukkan masih banyaknya masyarakat beraktivitas di luar ruangan. Melihat fenomena ini, tidak heran jika laju penularan Covid-19 di Jatim kian melonjak, terlebih ada pelintiran bahwa Covid-19 sebenarnya hanya dibuat-buat.
Hal ini dikutip dari detik.com (11/5) "Izinkan dalam kesempatan ini Covid saya tinggalkan dulu. Bagi saya, Covid ini adalah opini yang dibangun oleh sebuah paradigma." Melihat kutipan tersebut, jelas bahwa setidaknya ada diantara masyarakat yang menganggap Covid-19 ini tidak lebih hanyalah sebagai opini. Terlebih pernyataan ini diduga kuat diucapkan oleh Sekda Bondowoso, dimana yang seharusnya menjadi iktibar dan bisa berfikir logis dalam menyikapi kondisi saat ini justru memberikan pernyataan yang kurang masuk akal. Jika hal seperti ini terus berlarut, maka bukan tidak mungkin provinsi Jatim kemudian bisa menjadi episentrum baru penyebaran Covid-19 bahkan di tingkat Asia Tenggara.
Menuai banyaknya persepsi liar masyarakat terkait Covid-19, berpengaruh terhadap percepatan pemutusan rantai penyebaran virus. Semakin banyak masyarakat yang menganggap remeh Covid-19, maka akan semakin kecil kemungkinan putusnya rantai penyebaran Covid-19. Rasa biasa saja dan remeh tersebut memiliki kaitan erat dengan minimnya pengetahuan masyarakat terkait Covid-19. Hal ini menjadikan perlu dilakukannya sosialisasi masif tentang bahaya Covid-19 dan pentingnya menjaga kesehatan diri. Aturan yang jelas dan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan perlu ditegaskan kembali dengan harapan agar kasus penularan bisa segera menurun.
Oleh :Milinda Agustiyana
0 Comments:
Posting Komentar