Sebelum Suramadu selesai, sekitar pertengahan Juni 2007, Mbah Katiman datang kepada para kuli bangunan, juru taksir dan tukang gambar. Lalu meminta mereka untuk menggeser Suramadu sedikit ke Barat di bagian Madura. Karena mereka bandel, Mbah Katiman menjadi bulan-bulanan lelucon, dan sebelum kering mereka tertawa, Mbah Katiman terbahak-bahak, bahkan lebih kencang dari mereka semua. Mungkin ini yang menyebabkan panjang Suramadu menjadi 5,438 meter; mungkin dulunya ada yang menginginkan panjangnya 5,432 meter, angka cantik.
Suatu malam, sebuah benang dari lintingan tembakau dengan serat pelepah pisang disimpulkan ke paku bumi Suramadu oleh Mbah Katiman. Ia menarik Suramadu sedikit ke Barat. "Nah, tepat! Kalau begini kepalanya tepat menghadap kiblat," gumam Mbah Katiman.
***
Aku pernah satu kali menceritakan kisah Mbah Katiman kepada temanku di lereng Merapi.
"Setelah itu Mbah Katiman tak pernah kelihatan," kataku.
"Memang sejak dulu kelakuannya begitu."
"Apa maunya?"
"Dia tak punya kemauan. Dia tidak menuruti dirinya sendiri," lalu temanku pergi. Dan kudapati diriku di kamar kontrakan.
Sungguh, menjadi orang yang tidak normal sangat memilukan. Tubuhku seperti kapas yang melambung-lambung diterpa angin. Sebentar-sebentar ada di sana, kemudian ke sini ke situ. Terkadang aku berjalan dan tiba-tiba ada di kutub Utara bersama pinguin. Lalu saat meloncat aku sampai di benua Eropa dan tersesat. Kepalaku pernah terbentur meja Pak SBY, tepat saat rapat kabinet berlangsung. Semua kejadian itu berakhir sama: kudapati diriku di kamar kontrakan. Maka ketidakpastian menjadi warna-warni, semacam lagu kehidupanku.
Di suatu malam di pinggiran Suramadu bagian Surabaya, kulihat potret para pemuda melampiaskan lelah. Ada yang hilang lelahnya dengan melakukan hal yang romantis, manja, nakal bahkan centil; juga pedagang kopi yang lelah menjajakan kopi semalam suntuk, sekaligus bingung bagaimana Tuhan mengganjar manfaat dagangannya.
Lalu, tiga kali malam purnama setelahnya, aku duduk di pinggiran Suramadu, di bagian Madura. Bergerombol muda-mudi bersuara layaknya orkestra. Diantara suara mereka, kupilih sebuah mulut dan kuperhatikan.
"Dingin banget, ya," kata mulut itu.
Beberapa mulut menambahkan, ia berbunyi: "Anginnya sangat kencang,"
Aku terus memandangi mereka sambil mengelap keringat. Bagaimana mungkin mereka kedinginan, sementara aku kepanasan? Ah, aku benci melihat mereka saling berdesakan: ada yang kurangajar merusak semak-semak, menyirami tembok yang tak ada gunanya, bermain tindih-menindih, hingga tebak-menebak tempat-tempat berlubang. Dalam siluet, mereka terlihat seperti pertandingan gulat. Hanya saja pukulan maupun tendangan seolah tidak pernah ditangkis, melainkan pasrah diterima begitu saja. Tempat gelap memang terkadang menunjukkan sesuatu yang tidak sesungguhnya.
Lama termenung dengan kesal, aku melangkah menuju bibir pantai. Kubasuh muka dengan air laut yang keruh.
Gerombolan ikan mas koi, ikan lele, ikan wader dan ikan air tawar lainnya berdatangan. Satu ekor di antara mereka yang paling besar, kira-kira seukuran anak gendut usia dua tahun, terlihat memimpin gerombolan ikan itu.
"Apa kalian makan garam?" celetukku memandang yang paling besar.
"Apa menurutmu semua air laut asin selamanya?" ia menjawab dengan pertanyaan.
"Mybe," jawabku, sambil turun masuk ke air. Ikan-ikan kecil yang terlihat kampungan mencomoti kakiku, barangkali memakan kulit ari, tapi terasa seperti sedang mencabuti bulu kaki.
Kutanyakan pada yang besar, apa tujuannya? Katanya, mereka datang diutus Mbah Katiman.
"Kau harus ikut denganku!" sergahku.
"Kau harus ikut dengan kami, setelah itu kami ikuti maumu," jawabnya.
Kakiku sudah bersisik. Rupanya, ikan-ikan kampungan di kakiku mencopoti sisik mereka dan memasangkan padaku. Setelah habis sisiknya, mereka berubah menjadi anakan ikan lele. Kutenggelamkan tubuhku, ikan besar memasangkan sisiknya hingga aku benar-benar menjadi ikan seutuhnya. Lalu kami berenang menuju selat.
Sampai di tengah selat, sebuah tangga berdiri di atas air, ujungnya merobek langit yang dipinggiran robekan itu petir menggelegar. Kami berubah wujud menjadi tapir lalu meloncat-loncat menaiki tangga dengan gembiranya.
Di atas langit, kami bertemu Mbah Katiman sedang bermain kelereng sendirian. Aku merasa sepuluh tahun lebih tua darinya.
Aku menyapa Mbah Katiman. Ia menjawab sambil tetap memainkan kelereng.
"Bumi tetap berputar dan bisa berbalik putarannya. Di sini putarannya berlawanan dengan bumi," kata Mbah Katiman.
"Apakah jika aku terbahak-bahak kau akan terbahak-bahak juga?" celetukku. Mbah Katiman melempar kelerengnya menuju robekan langit itu. Kelerengnya jatuh dan petir bersambaran. Batinku, bumi hujan sebentar lagi.
Perihal bumi ini yang hanya berisi lelucun, candaan, dan permainan. Yang hari ini pagi, kata Mbah Katiman, besok pagi lagi, meskipun berbeda dari sebelumnya; yang hari ini muda, besok tua; yang hari ini kenyang, empat atau lima jam mendatang akan lapar. Manusia mendambakan yang tidak kekal. Bahkan dibandingkan nurani, mayoritas manusia menyondongkan diri pada akal-pikiran.
Mbah Katiman lalu bercerita perihal Ir Soekarno yang pernah memberikan amanah kepada pohon ketapang. Beliau menyampaikan keinginan di masa yang akan datang. Kata beliau, kelak anak-anakku akan menyambungkan pulau-pulau di seluruh Indonesia.
"Lantas?" tanyaku.
Yang menjadi masalah adalah pohon ketapang melupakan satu hal. Dan setelah ia ingat hal itu, Izrail menutup hidupnya.
"Lantas?" tanya Mbah Katiman.
"Maksudnya, Mbah?"
"Apa kau mengetahui sesuatu?"
"Tugasku bukan untuk mencari tahu apa yang tidak sampean ketahui, Mbah!"
Mbah Katiman menunduk. Matanya yang tajam memandangi Suramadu jengkal demi jengkal: dari ujung selatan hingga ujung utara. Kemudian ia menunjuk bagian tengah Suramadu dan berkata: "Jembatan itu akan menjadi kuburan bagi siapa saja yang berniat buruk, dan menjadi wasilah keberkahan bagi siapa saja yang berniat baik,"
Sampaikanlah pada orang-orang, Suramadu itu mahluk hidup. Jangan sampai ia ngambek, atau ikan-ikan dan apa saja yang ada di sekitarnya melaknat mereka.
Lalu Mbah Katiman mendekat. Ia memegangi tubuhku dan melemparku sejadi-jadinya dari langit ke dasar laut. Kurasai tulang-belulangku remuk. Bebatuan, karang, dan ranting-ranting merobek kulit sekujur, lalu tubuhku menyembul ke permukaan pantai berkat dorongan ikan-ikan dan ombak yang berpesta. Tubuhku seperti pelampung yang terombang-ambing hingga tersangkut sampah di pinggir pantai. Berkerumun orang-orang melihatku. Segerombol orang dengan baju warna oren mengangkat dan memasukkan tubuhku ke dalam bag plastik besar.
"Pemuda yang tiga bulan lalu hilang baru saja ditemukan," kata semoncong mulut. Lalu pergi bersama gerombolan orang berbaju oren, yang menenteng sebungkus plastik itu.
Aku duduk di bawah Suramadu, di atas air yang sedang bergelombang. Segerombol ikan datang.
"Apa yang kalian lakukan?"
"Mencarikan teman untukmu," jawab mereka sambil tertawa terbahak-bahak.
(Em Ruddy)
0 Comments:
Posting Komentar