This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 12 Oktober 2020

Terjebak




“Ayah Ibu memang harus banget ya hadir ke nikahannya Om Aldi? Perasaan Indah tidak enak, sebaiknya tidak usah lah ya Yah, Bu,” pinta anak itu dengan wajah hawatir.


“Sayang, itu hanya pearasaanmu saja karena kamu belum pernah kita tinggal, apa lagi sampai seminggu,” jawab Ayah.

“Tapi Yah…”

“Indah…,” potong Ibu. “Om Aldi itu teman dekat Ayah, kalau tidak datang kan tidak enak, sekalian Ayah dan Ibu memanfaatkan kesempatan ini untuk silaturahim dengan teman-teman Ayah yang lain, sudah lama juga kan tidak bertemu,” Ibu melanjutkan.


“Kalau gitu Indah ikut.”

“Indah” sahut Ayah sedikit tegas “Indah kan harus sekolah, kalau Indah ikut nanti tertinggal pelajaran.”


Ayah indah memang lembut dan tegas, dia pun heran kenapa anaknya sedikit ngeyel soal masalah ini.


Susana di meja makan menjadi senyap, Indah tak bisa lagi mengutarakan kehawatirannya jika Ibu dan Ayahnya pergi ke acara pernikahan keluarganya. Dia pun bingung kenapa dia merasa begitu khawatir jika Ayah dan Ibunya pergi.

***


Indah Dwi Retno, itu namaku. Seindah namaku, hidupku juga indah, bisa dikatakan bak di negeri dongeng. Iya, aku putri. Ayah raja dan ibu ratunya. Orang-orang mengenalku sebagai anak yang sangat ceria dan keceriaan itu harus aku bawa dan aku bangun lagi di dunia yang baru.


“Sayang, bagaimana teman-temanmu di sekolah baru?” Dia bertanya sambil mengoleskan selai pada selembar roti.

Dia adalah mamaku, dia sangat baik sama baiknya seperti ibu. Oh aku merindukan ibu.


“Seru Ma, mereka baik-baik, sepertinya aku akan betah disana.”

“Harus betah dong, kan anak pinter,” saut seorang laki-laki yang muncul dari belakang sambil mengusap kepalaku.


Laki-laki yang kumaksud adalah papa, sifatnya persis ayah, tegas tapi lembut. Aku rindu ayah.

***


“Indah, tadi kamu dicari sama Bu Sari, beliau menitipkan buku paket uantuk kamu. Aku letakkan di bangkumu ya.”

“Oh iya, terima kasih.”

Aku belum tahu siapa namanya, yang jelas dia teman sekelasku.


Ini hari kedua aku bersekolah di sini sebagai siswi pindahan, karena papa dipindah tugaskan ke kota ini jadi aku dan mama ikut. Terpaksa aku harus meninggalkan dunia yang sudah aku bangun selama satu tahun lebih dan harus membangunnya kembali di sini.


Di kelas ini aku merasa semua baik, semua nyaman dan semua ceria, kecuali teman sebangkuku. Namanya Intan, meski satu bangku aku belum pernah ngobrol banyak dengan dia, karena kemarin waktu aku ajak dia kenalan dia hanya menjawab satu pertanyaanku, yaitu saat kutanya namanya. Katanya sih dia juga siswi pindahan, hanya saja dia pindah ke sekolah ini satu minggu sebelum aku.


“Intan, kamu sudah sarapan?” Sapaku.

Sekadar sapaan basa-basi sih, tapi dia tetap diam. Sejak kemarin aku tidak pernah melihat dia berbicara, tersenyum bahkan keluar kelas sekalipun selain jam pulang.


“Intan, kamu kenapa? Ada masalah? Kamu boleh kok cerita sama aku, anggap saja aku ini sahabat kamu,” ucapku sambil memengang pundaknya.


Tiba-tiba dia menatapku dan menepis tangaku dari pundaknya.


“Kamu tidak akan paham, tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan,” ketusnya.


Dia langsung mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan matanya yang bekaca-kaca. Aku rasa dia merasakan kesedihan yang begitu dalam, kukira aku adalah orang yang paling sedih ketika aku harus berpisah dengan ayah dan ibu, dan aku kira tidak ada kesedihan yang lebih daripada itu. Terrnyata dugaanku salah.


“Aku hanya ingin mengajakmu berbagi, karena aku tahu selama satu minggu di sini kamu masih belum mempunyai teman. Tapi jika kamu tidak mau tidak masalah, aku tidak akan memaksa,” ucapku prihatin.


Sebelumnya aku tidak pernah berkata seserius ini, tapi aku paling tidak bisa melihat orang murung. Air matanya mulai mengalir di pipi, refleks aku pun memegang pundaknya, namun lagi-lagi dia menepisnya.


Kelas masih kosong, anak-anak yang datang baru satu dua dan mereka mungkin masih asik di luar kelas. Sudahlah, aku tidak boleh memaksa, mungkin dia masih ingin sendiri dan belum siap bercerita sama siapaun termasuk aku.


“Aku terjebak!”

Aku terkejut! Niatku untuk beranjak dan keluar dari kelas tiba-tiba terurung, Intan berbicara, dia ingin bercerita.


“Sudah satu minggu aku di kota ini, namun aku tidak tahu ini di mana,” dia melanjutkan.

Ucapannya terbata-bata karena dia sambil menangis. Dia tidak mengenal kota ini? Jantungku mulai berdetak dua kali lebih kencang. Memori satu setengah tahun yang lalu berlalu-lalang di pikiranku.


“Minumlah dulu!” Ucapku sambil menyodorkan sebotol air yang aku bawa dari rumah.

“Terima kasih.” 


Setelah minum dia menarik napas dalam-dalam. Aku lihat dia sudah sedikit tenang dan aku masih menunggunya untuk terus bercerita.


“Tepat satu bulan yang lalu pada malam hari ketika aku tidur, aku bermimpi. Aku berada di ruangan yang sangat gelap, tidak bisa melihat apa-apa. Kucoba untuk mencari pintu tapi tidak juga ketemu, hingga akhirnya aku melihat sebuah cahaya di kejauhan, aku berlari dan terus berlari untuk menghampiri titik cahaya itu.”


Dia terdiam sejenak dan aku tetap menunggu.

“Ternyata cahaya itu adalah sebuah pintu yang dibalik pintu itu adalah…”


“Kota ini,” sambungku. “Tanpa berpikir panjang kamu memasuki kota ini dan tiba-tiba kamu terbangun dari tidur mendapatkan semuanya sudah berubah, termasuk orang tuamu,” lanjutku.


“Kamu?” Dia menatapku heran, mata kita saling bertumpu “Bagaimana mungkin kamu tahu itu?” Lanjutnya tetap dengan nada tidak percaya.

“Karena aku mengalaminya jauh sebelum kamu.”


Dia tersentak, mungkin dia masih tidak percaya, tapi ini nyata. Kita sama-sama terjebak di dalam mimpi yang nyata.

Sejak saat itu, Intan mulai terbuka dan mulai banyak bercerita tentang kehidupannya yang dulu, tapi hanya kepadaku.

***


Tanpa mereka sadari, sedari tadi dua orang wanita mengawasi mereka dari pintu.

“Depersonalisasi,” ucap wanita yang berpakaian dokter. “Perasaan seolah-olah hidup dalam mimpi karena mereka belum bisa menerima kepergian kedua orang tua mereka akibat kecelakaan,” lanjutnya berkata.


“Apa itu penyakit berbahaya Dok?” Tanya wanita yang ternyata adalah Kepala Sekolah.


“Ini tergolong penyakit langka Bu, karena hanya sekitar 2% populasi dunia yang mengalaminya, penyakit ini berpotensi besar menyerang anak-anak seusia mereka, kurang lebih 16 tahunan, di mana kondisi emosional mereka masih belum terkontrol,” jawabnya.


“Seberapa parah penyakit mereka Dok?” Tanya Kepala Sekolah lagi.

“Intan dan Indah memiliki karakter yang berbeda. Depersonalisasi pada Indah cenderung lebih kuat dari pada Intan, oleh karena itu Indah tidak menunjukkan bahwa dia mengalami masalah atau gangguan jiwa. Sedangkan intan, dia sangat tidak menerima hal ini oleh karena itu dia selalu menutup dirinya dan bahkan beberapa kali sempat melakukan percobaan bunuh diri.” Ucap dokter dengan gamblang.


“Apakah membuat mereka satu sekolah bahkan satu kelas adalah rencana Dokter?” Tanya Kepala Sekolah penasaran.

“Iya bu, bahkan yang membuat mereka memiliki keluarga angkat adalah rencana saya. Jika mereka berada di panti asuhan, itu akan membuat imajinasi yang mereka bangun berbeda dengan apa yang mereka lihat dan itu akan menimbulkan stres. Indah dan Intan akan saling terbuka karena mereka mengalami hal yang serupa, terutama untuk Intan yang memiliki mental lebih lemah daripada Indah,” ucap dokter mengaku.


“Jika mereka terus bersama, bukankah itu berpotensi bagi mereka untuk terus berada di dalam alam mimpi mereka Dok?”

“Iya, ibu betul. Itu yang masih saya carikan solusinya, karena saat ini yang terpenting menurut saya adalah Intan tidak mengalami stres yang akan menimbulkan penyakit yang lebih parah lagi.” 


Sejenak dokter itu menghela napas, 

“Jadi, saya meminta kesediaan Ibu Kepala Sekolah agar membantu saya dan keluarga angkat mereka untuk mengawasi Intan dan Indah ketika di sekolah,” pinta dokter.


“Baik Dok, dengan senang hati,” jawab Ibu Kepala Sekolah.


# Muchlisa


Tentang Rasa

 


Oleh: Abdul Azis


Relatifitas masa kembali menunjukkan tajinya

Di kala sendu membalut keheningan kalbu

Kubuka kembali lembaran usang yang disebut kenangan

Iya, masa itu bahagia bersua dan menari diatas indahnya dunia

Masa berjalan dengan cepat lebih cepat kuadriliun kali dibanding cahaya

Ah, aku tak ingin terlalu halu membayangkan hal yang telah lalu

Kudobrak lamunan dengan kesedihan yang membingungkan

Namun waktu menarik kalbu dalam lubang hitam yang disebut rindu

Apa kabar kamu, yang kini tak lagi pernah bertemu

Sang bayu pun menyelimuti dengan dingin 

Temaram logika bergeliat seakan tak percaya

Aku pun memeluk erat rindu dan kubisikkan, mari berdamai denganku


Minggu, 11 Oktober 2020

Kompetisi Ilmiah HIMAGRI, Momentum Peningkatan Dunia Literasi

 


Pandemi tidak menyurutkan semangat peserta dan panitia untuk menyukseskan acara PIMAGRI (Pekan Ilmiah Himagri) meski kali ini harus dilkasanakan secara virtual. Acara ini menjadi ajang lomba tahunan Himagri yang bertujuan untuk mengasah, dan mengembangkan potensi mahasiswa khususnya di wilayah Provinsi Jawa Timur.


Proses panjang harus dilewati oleh para peserta mulai dari seleksi administratif, pengumpulan abstrak, seleksi full paper hingga tahapan final. Babak final sendiri berlangsung via Zoom pada Rabu (10/11), di mana proses tanya jawab oleh juri dan peserta dilangsungkan setelah penayangan video presentasi yang sebelumnya dikirim oleh peserta. Tahapan penyeleksian sendiri, pihak penyelenggara PIMAGRI menghadirkan juri dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis  UTM.


Tema yang diusung pada PIMAGRI tahun ini adalah "Optimasi Potensi Daerah oleh Generasi Milenial Dalam Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs)  di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0".


Lebih lanjut, Qowim selaku Ketua Pelaksana menjabarkan bahwa tema yang diangkat menjadikan PIMAGRI sebagai penggagas atau penggerak mahasiswa dalam pembangunan potensi daerah terutama daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).


"Tema yang diangkat sangat relevan dan bisa dipakai juga untuk mengantisispasi kondisi di masa depan," ujar Umi Purwandari.


Tahun ini, terhitung ada 34 tim yang terdaftar dan mengikuti tahapan seleksi administratif dalam PIMAGRI. Keseluruhan tim tersebut berasal dari berbagai kampus di Jawa Timur yang kemudian diambil 10 tim sebagai finalis. Umi juga mengatakan Dari kualitas tulisan, data, dan video presentasi peserta,  bisa dilihat bahwa banyak dari mereka menghabiskan waktu, tenaga serta perhatian mereka dengan sungguh-sungguh untuk memberikan hasil yang terbaik.


Berdasarkan ketetapan juri, maka terpilihlah 3 tim terbaik yang dinobatkan menjadi juara, antara lain dari tim Purbaya Seno Aji dari Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya sebagai Juara I. Nur Eka Hatiningrum dari Universitas Brawijaya sebagai Juara II serta Zakaria Wildan Fachrezzy dari UPN Veteran Jawa Timur. Yang diumumkan pada Rabu (10/11) jam 20.00 WIB di instagram HIMAGRI.


Ali sebagai penyandang juara 1 pun tak ketinggalan menyampaikan kesannya setelah mengikuti PIMAGRI. Dia mengakui bahwa semua inovasi dari tim lain sangatlah bagus, Ali pun menambahkan bahwa dia bahkan hampir insecure melihat inovasi dari tim lain. “Tapi kami tetap optimis saja dan Gusti Allah pasti memberikan yang terbaik bagi kami baik dalam keadaan menang maupun kalah," Ali menjelaskan.


Beberapa apresiasi pun diungkapkan oleh Umi Purwandari bahwa acara seperti PIMAGRI ini hendaknya harus dilenggengkan sebagai upaya pengukuran kemampuan diri. Menjadi seorang ilmuan tentu harus pandai menulis karya ilmiah, karena dengan itu dapat mengajarkan kita untuk perpikir teratur, realistis dan mandiri. Dan lomba KTI sendiri adalah ajang untuk mengasah dan menambah kemampuan menulis, baik itu didapat dari masukan juri atau dari melihat karya peserta lain. 


“Akan ada perbedaan kematangan ilmu dan komunikasi antara orang-orang yang sering ikut lomba KTI dan yang belum pernah sama sekali,” ujar beliau.

(Mil,Muchlisa)


Jumat, 02 Oktober 2020

Kemarau di Sela Hujan

 

Oleh: Moch Rifiyal Ka’bah

Aku tak berani memandang wajahmu

Meskipun dersik angin mengusik rongga senyummu

Aku tidak ingin menatap bola matamu

Walaupun sinar purnama berpendar menembus retinamu

Biarlah tentangmu tetap menjadi anganku

Peduliku melaui munajat yang senantiasa bersenandung bahagiamu


Biarkan rasaku terbasuh deras hujan hingga jiwaku khalis tanpa kedustaan

Terhanyut menuju mahligai indah disambut meriah batara cinta

Bersinar di antara gugusan asmara di bumantara

Menjadi satu-satunya kisah yang paling mesra di asmaraloka


Engkau juita...

Izinkan aku menjadikanmu maharani di sanubariku 

Basulah kekeringan jiwaku dengan kiranamu

Agar kemarau cintaku kembali tergenang syahdunya rindu


Terlambat

 

Oleh: Moch Rifiyal Ka’bah

Lebam kata dihantam sesal

Memilih sunyi di dalam khayal

Melukai ego yang semakin bengal

Keniscayaan rasa hanyalah bual

Mencoba melawan tanpa spasial

Membangun kembali meskipun berpihak gagal