“Ayah Ibu memang harus banget ya hadir ke nikahannya Om Aldi? Perasaan Indah tidak enak, sebaiknya tidak usah lah ya Yah, Bu,” pinta anak itu dengan wajah hawatir.
“Sayang, itu hanya pearasaanmu saja karena kamu belum pernah kita tinggal, apa lagi sampai seminggu,” jawab Ayah.
“Tapi Yah…”
“Indah…,” potong Ibu. “Om Aldi itu teman dekat Ayah, kalau tidak datang kan tidak enak, sekalian Ayah dan Ibu memanfaatkan kesempatan ini untuk silaturahim dengan teman-teman Ayah yang lain, sudah lama juga kan tidak bertemu,” Ibu melanjutkan.
“Kalau gitu Indah ikut.”
“Indah” sahut Ayah sedikit tegas “Indah kan harus sekolah, kalau Indah ikut nanti tertinggal pelajaran.”
Ayah indah memang lembut dan tegas, dia pun heran kenapa anaknya sedikit ngeyel soal masalah ini.
Susana di meja makan menjadi senyap, Indah tak bisa lagi mengutarakan kehawatirannya jika Ibu dan Ayahnya pergi ke acara pernikahan keluarganya. Dia pun bingung kenapa dia merasa begitu khawatir jika Ayah dan Ibunya pergi.
***
Indah Dwi Retno, itu namaku. Seindah namaku, hidupku juga indah, bisa dikatakan bak di negeri dongeng. Iya, aku putri. Ayah raja dan ibu ratunya. Orang-orang mengenalku sebagai anak yang sangat ceria dan keceriaan itu harus aku bawa dan aku bangun lagi di dunia yang baru.
“Sayang, bagaimana teman-temanmu di sekolah baru?” Dia bertanya sambil mengoleskan selai pada selembar roti.
Dia adalah mamaku, dia sangat baik sama baiknya seperti ibu. Oh aku merindukan ibu.
“Seru Ma, mereka baik-baik, sepertinya aku akan betah disana.”
“Harus betah dong, kan anak pinter,” saut seorang laki-laki yang muncul dari belakang sambil mengusap kepalaku.
Laki-laki yang kumaksud adalah papa, sifatnya persis ayah, tegas tapi lembut. Aku rindu ayah.
***
“Indah, tadi kamu dicari sama Bu Sari, beliau menitipkan buku paket uantuk kamu. Aku letakkan di bangkumu ya.”
“Oh iya, terima kasih.”
Aku belum tahu siapa namanya, yang jelas dia teman sekelasku.
Ini hari kedua aku bersekolah di sini sebagai siswi pindahan, karena papa dipindah tugaskan ke kota ini jadi aku dan mama ikut. Terpaksa aku harus meninggalkan dunia yang sudah aku bangun selama satu tahun lebih dan harus membangunnya kembali di sini.
Di kelas ini aku merasa semua baik, semua nyaman dan semua ceria, kecuali teman sebangkuku. Namanya Intan, meski satu bangku aku belum pernah ngobrol banyak dengan dia, karena kemarin waktu aku ajak dia kenalan dia hanya menjawab satu pertanyaanku, yaitu saat kutanya namanya. Katanya sih dia juga siswi pindahan, hanya saja dia pindah ke sekolah ini satu minggu sebelum aku.
“Intan, kamu sudah sarapan?” Sapaku.
Sekadar sapaan basa-basi sih, tapi dia tetap diam. Sejak kemarin aku tidak pernah melihat dia berbicara, tersenyum bahkan keluar kelas sekalipun selain jam pulang.
“Intan, kamu kenapa? Ada masalah? Kamu boleh kok cerita sama aku, anggap saja aku ini sahabat kamu,” ucapku sambil memengang pundaknya.
Tiba-tiba dia menatapku dan menepis tangaku dari pundaknya.
“Kamu tidak akan paham, tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan,” ketusnya.
Dia langsung mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan matanya yang bekaca-kaca. Aku rasa dia merasakan kesedihan yang begitu dalam, kukira aku adalah orang yang paling sedih ketika aku harus berpisah dengan ayah dan ibu, dan aku kira tidak ada kesedihan yang lebih daripada itu. Terrnyata dugaanku salah.
“Aku hanya ingin mengajakmu berbagi, karena aku tahu selama satu minggu di sini kamu masih belum mempunyai teman. Tapi jika kamu tidak mau tidak masalah, aku tidak akan memaksa,” ucapku prihatin.
Sebelumnya aku tidak pernah berkata seserius ini, tapi aku paling tidak bisa melihat orang murung. Air matanya mulai mengalir di pipi, refleks aku pun memegang pundaknya, namun lagi-lagi dia menepisnya.
Kelas masih kosong, anak-anak yang datang baru satu dua dan mereka mungkin masih asik di luar kelas. Sudahlah, aku tidak boleh memaksa, mungkin dia masih ingin sendiri dan belum siap bercerita sama siapaun termasuk aku.
“Aku terjebak!”
Aku terkejut! Niatku untuk beranjak dan keluar dari kelas tiba-tiba terurung, Intan berbicara, dia ingin bercerita.
“Sudah satu minggu aku di kota ini, namun aku tidak tahu ini di mana,” dia melanjutkan.
Ucapannya terbata-bata karena dia sambil menangis. Dia tidak mengenal kota ini? Jantungku mulai berdetak dua kali lebih kencang. Memori satu setengah tahun yang lalu berlalu-lalang di pikiranku.
“Minumlah dulu!” Ucapku sambil menyodorkan sebotol air yang aku bawa dari rumah.
“Terima kasih.”
Setelah minum dia menarik napas dalam-dalam. Aku lihat dia sudah sedikit tenang dan aku masih menunggunya untuk terus bercerita.
“Tepat satu bulan yang lalu pada malam hari ketika aku tidur, aku bermimpi. Aku berada di ruangan yang sangat gelap, tidak bisa melihat apa-apa. Kucoba untuk mencari pintu tapi tidak juga ketemu, hingga akhirnya aku melihat sebuah cahaya di kejauhan, aku berlari dan terus berlari untuk menghampiri titik cahaya itu.”
Dia terdiam sejenak dan aku tetap menunggu.
“Ternyata cahaya itu adalah sebuah pintu yang dibalik pintu itu adalah…”
“Kota ini,” sambungku. “Tanpa berpikir panjang kamu memasuki kota ini dan tiba-tiba kamu terbangun dari tidur mendapatkan semuanya sudah berubah, termasuk orang tuamu,” lanjutku.
“Kamu?” Dia menatapku heran, mata kita saling bertumpu “Bagaimana mungkin kamu tahu itu?” Lanjutnya tetap dengan nada tidak percaya.
“Karena aku mengalaminya jauh sebelum kamu.”
Dia tersentak, mungkin dia masih tidak percaya, tapi ini nyata. Kita sama-sama terjebak di dalam mimpi yang nyata.
Sejak saat itu, Intan mulai terbuka dan mulai banyak bercerita tentang kehidupannya yang dulu, tapi hanya kepadaku.
***
Tanpa mereka sadari, sedari tadi dua orang wanita mengawasi mereka dari pintu.
“Depersonalisasi,” ucap wanita yang berpakaian dokter. “Perasaan seolah-olah hidup dalam mimpi karena mereka belum bisa menerima kepergian kedua orang tua mereka akibat kecelakaan,” lanjutnya berkata.
“Apa itu penyakit berbahaya Dok?” Tanya wanita yang ternyata adalah Kepala Sekolah.
“Ini tergolong penyakit langka Bu, karena hanya sekitar 2% populasi dunia yang mengalaminya, penyakit ini berpotensi besar menyerang anak-anak seusia mereka, kurang lebih 16 tahunan, di mana kondisi emosional mereka masih belum terkontrol,” jawabnya.
“Seberapa parah penyakit mereka Dok?” Tanya Kepala Sekolah lagi.
“Intan dan Indah memiliki karakter yang berbeda. Depersonalisasi pada Indah cenderung lebih kuat dari pada Intan, oleh karena itu Indah tidak menunjukkan bahwa dia mengalami masalah atau gangguan jiwa. Sedangkan intan, dia sangat tidak menerima hal ini oleh karena itu dia selalu menutup dirinya dan bahkan beberapa kali sempat melakukan percobaan bunuh diri.” Ucap dokter dengan gamblang.
“Apakah membuat mereka satu sekolah bahkan satu kelas adalah rencana Dokter?” Tanya Kepala Sekolah penasaran.
“Iya bu, bahkan yang membuat mereka memiliki keluarga angkat adalah rencana saya. Jika mereka berada di panti asuhan, itu akan membuat imajinasi yang mereka bangun berbeda dengan apa yang mereka lihat dan itu akan menimbulkan stres. Indah dan Intan akan saling terbuka karena mereka mengalami hal yang serupa, terutama untuk Intan yang memiliki mental lebih lemah daripada Indah,” ucap dokter mengaku.
“Jika mereka terus bersama, bukankah itu berpotensi bagi mereka untuk terus berada di dalam alam mimpi mereka Dok?”
“Iya, ibu betul. Itu yang masih saya carikan solusinya, karena saat ini yang terpenting menurut saya adalah Intan tidak mengalami stres yang akan menimbulkan penyakit yang lebih parah lagi.”
Sejenak dokter itu menghela napas,
“Jadi, saya meminta kesediaan Ibu Kepala Sekolah agar membantu saya dan keluarga angkat mereka untuk mengawasi Intan dan Indah ketika di sekolah,” pinta dokter.
“Baik Dok, dengan senang hati,” jawab Ibu Kepala Sekolah.
# Muchlisa