Sumber : weheartit.com
Saat itu aku tersadar. Kudengar suara menggali tanah di
halaman belakang rumah. Seakan lupa dengan insiden berdarah, aku tak
menghiraukan suara galian.
Di sudut kamar kulihat Adinda sedang duduk namun
kedaannya tak sadarkan diri. Kaki dan tangannya diikat kuat dan mulutnya
dibekap plaster hitam.
"Dinda, bangun sayang. Ini kakak." Aku
merengek memeluk adikku. Kugoyang-goyangkan tubuh mungilnya dengan kuat,
berharap Adinda segera terbangun.
Nihil, Adinda tetap tenang dengan posisi duduknya.
Kuamati kelopak matanya yang mengantup itu terasa cekung dan hitam. Tak
kudengar hembusan napasnya. Plaster yang melilit wajah mungil Adinda menutupi
saluran pernapasannya. Aku hanya mematung bersandar di kursi tempat adikku
menjemput ajal.
Usiaku saat itu masih 12 tahun. "Dea Oxalis kini
hanya hidup sebatang kara." Tangisku dalam hati. Kuciumi adikku yang
malang ini. Sejenak kuusap deraian air mata. Aku bangkit dan berjalan
mengendap-endap melihat apa yang terjadi di halaman belakang.
"Mas, mayat ini sangat berat, perutku sakit tak
kuat menarik mayat ini lagi." Sumarni menyeret tubuh Ibu dengan napasnya
yang tidak beraturan. Tubuh Ibu masih berlumuran darah, lengkap dengan pisau,
garpu dan pecahan kaca yang menancap di tubuhnya. Sedangkan ayah tak menggubris
dan masih sibuk menggali tanah untuk mengubur mayat Ibuku.
Aku berlari menghentikan Ayah yang berjalan menyeret
tubuh ibu dengan kasar "Cukup! Hentikan Yah.. Jangan tarik Ibu, Dea mohon.
Lepaskan Ibu!! Lepaskan Ibuuuu...!!!" Aku menjerit histeris, namun rasanya
telingaku sendiri tak dapat mendengar suaraku yang melengking. Hingga dentuman
kuat di kepala melumpuhkan gerakku.
Aku mengingat semuanya dengan indah. Aku masih dapat
mencium aroma amis legit menyeruak di hidungku dan rasanya yang getir manis
masih melekat di lidahku.
Tak terasa air mataku menetes, tak kukira ibu dan Adinda
benar-benar sudah tiada. Saat itu aku siuman yang kedua kalinya. Di dalam
gudang yang gelap dan pengap tempat penyimpanan alat berkebun. Pintu yang terkunci
dari luar bukan halangan untuk menyiapkan pesta kematian mereka. Dan senyumku
melebar, aku kembali menemui mereka. Menggantikan peran malaikat maut, dengan
membawa sebilah sabit di tangan kiriku dari gudang penyimpanan alat berkebun.
Aku berjalan mencari kedua makhluk jalang itu.
"Hai ayah,"
Sapaku riang, tak ada gurat kesedihan.
Aku berjalan melewat Sumarni yang duduk bersandar sofa
memegangi perutnya. Sedangkan ayah sedang asyik menonton film keluarga
kesukaannya, tak terlihat bersedih. "Malam bergulir sangat cepat, bukan
begitu Yah? Aku tak sabar menanti kapan kita akan bertamasya lagi.
Hihihi," Aku terus berjalan mendekati mereka.
"Oh iya, Ibu dan Adinda kemana Yah? Kok cuma ada
pembantu ini? Apakah mereka sudah berangkat duluan? Hihihi." Aku cecikikan
bahagia melihat ekspresi mereka yang menelan ludah.
Ayah hanya diam mematung di sofanya dan sarafnya mulai
menegang, begitupun dengan Sumarni. Tak mau menunggu lama, sabit telah siap dan
kutebas kepala ayah dengan sempurna. Darah berhamburan mewarnai pakaian yang ku
kenakan.
"Duh, gimana sih Yah, bajuku jadi kotor nih.
Hihihi.." Aku menatap Sumarni yang hendak lari dari kematiannya. "Mau
kemana calon ibu tiri. Hihihi." Aku sangat bahagia melihat pembalasanku
ini. Kulempar sabit dari tangan kecilku. Walau agak kesulitan, beruntung
sabitku mampu menancap di betisnya yang kurus "Jangan bunuh akuuu.
Jaaannggaannn...." Sayang sekali sabitku tak mau mengalah.
"Ssleebbb..." Kucabik-cabik isi perut beserta janin di dalamnya.
Semua telah berakhir, kehidupan telah berakhir. Walau
begitu Ayah masih sering datang menemuiku di tengah malam. Dengan kebiasaannya
mencecik, menyeret-nyeret, dan membenturkan kepala di bawah lamunan hitamku.
Terima kasih Ayah kau masih menyayangiku. Aku dan gelap jejakku akan selalu menertawai
kehidupan.
TAMAT
TAMAT