terkini

Jejak Hitam II


Lanjutan...


Sumber : weheartit.com

Saat itu aku tersadar. Kudengar suara menggali tanah di halaman belakang rumah. Seakan lupa dengan insiden berdarah, aku tak menghiraukan suara galian.

Di sudut kamar kulihat Adinda sedang duduk namun kedaannya tak sadarkan diri. Kaki dan tangannya diikat kuat dan mulutnya dibekap plaster hitam.
​"Dinda, bangun sayang. Ini kakak." Aku merengek memeluk adikku. Kugoyang-goyangkan tubuh mungilnya dengan kuat, berharap Adinda segera terbangun.
Nihil, Adinda tetap tenang dengan posisi duduknya. Kuamati kelopak matanya yang mengantup itu terasa cekung dan hitam. Tak kudengar hembusan napasnya. Plaster yang melilit wajah mungil Adinda menutupi saluran pernapasannya. Aku hanya mematung bersandar di kursi tempat adikku menjemput ajal.

​Usiaku saat itu masih 12 tahun. "Dea Oxalis kini hanya hidup sebatang kara." Tangisku dalam hati. Kuciumi adikku yang malang ini. Sejenak kuusap deraian air mata. Aku bangkit dan berjalan mengendap-endap melihat apa yang terjadi di halaman belakang.
​"Mas, mayat ini sangat berat, perutku sakit tak kuat menarik mayat ini lagi." Sumarni menyeret tubuh Ibu dengan napasnya yang tidak beraturan. Tubuh Ibu masih berlumuran darah, lengkap dengan pisau, garpu dan pecahan kaca yang menancap di tubuhnya. Sedangkan ayah tak menggubris dan masih sibuk menggali tanah untuk mengubur mayat Ibuku.
​Aku berlari menghentikan Ayah yang berjalan menyeret tubuh ibu dengan kasar "Cukup! Hentikan Yah.. Jangan tarik Ibu, Dea mohon. Lepaskan Ibu!! Lepaskan Ibuuuu...!!!" Aku menjerit histeris, namun rasanya telingaku sendiri tak dapat mendengar suaraku yang melengking. Hingga dentuman kuat di kepala melumpuhkan gerakku.
​Aku mengingat semuanya dengan indah. Aku masih dapat mencium aroma amis legit menyeruak di hidungku dan rasanya yang getir manis masih melekat di lidahku.
​Tak terasa air mataku menetes, tak kukira ibu dan Adinda benar-benar sudah tiada. Saat itu ​aku siuman yang kedua kalinya. Di dalam gudang yang gelap dan pengap tempat penyimpanan alat berkebun. Pintu yang terkunci dari luar bukan halangan untuk menyiapkan pesta kematian mereka. Dan senyumku melebar, aku kembali menemui mereka. Menggantikan peran malaikat maut, dengan membawa sebilah sabit di tangan kiriku dari gudang penyimpanan alat berkebun. Aku berjalan mencari kedua makhluk jalang itu.
​"Hai ayah,"  Sapaku riang, tak ada gurat kesedihan.
Aku berjalan melewat Sumarni yang duduk bersandar sofa memegangi perutnya. Sedangkan ayah sedang asyik menonton film keluarga kesukaannya, tak terlihat bersedih. "Malam bergulir sangat cepat, bukan begitu Yah? Aku tak sabar menanti kapan kita akan bertamasya lagi. Hihihi," Aku terus berjalan mendekati mereka.
"Oh iya, Ibu dan Adinda kemana Yah? Kok cuma ada pembantu ini? Apakah mereka sudah berangkat duluan? Hihihi." Aku cecikikan bahagia melihat ekspresi mereka yang menelan ludah.

Ayah hanya diam mematung di sofanya dan sarafnya mulai menegang, begitupun dengan Sumarni. Tak mau menunggu lama, sabit telah siap dan kutebas kepala ayah dengan sempurna. Darah berhamburan mewarnai pakaian yang ku kenakan.
​"Duh, gimana sih Yah, bajuku jadi kotor nih. Hihihi.." Aku menatap Sumarni yang hendak lari dari kematiannya. "Mau kemana calon ibu tiri. Hihihi." Aku sangat bahagia melihat pembalasanku ini. Kulempar sabit dari tangan kecilku. Walau agak kesulitan, beruntung sabitku mampu menancap di betisnya yang kurus "Jangan bunuh akuuu. Jaaannggaannn...." Sayang sekali sabitku tak mau mengalah. "Ssleebbb..." Kucabik-cabik isi perut beserta janin di dalamnya.

​Semua telah berakhir, kehidupan telah berakhir. Walau begitu Ayah masih sering datang menemuiku di tengah malam. Dengan kebiasaannya mencecik, menyeret-nyeret, dan membenturkan kepala di bawah lamunan hitamku. Terima kasih Ayah kau masih menyayangiku. Aku dan gelap jejakku akan selalu menertawai kehidupan.

TAMAT

karya  : Indri Kusuma N


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.